Tips Mudah Menghafalkan Al-Qur'an

Siapa bilang menghafal Qur'an itu susah? Jika anda belum mencobanya atau takut mencobanya, anda tidak bisa mengatakan menghafalkan Qur'an susah.
Susah atau mudahnya tergantung suasana dan masalah yang ada dikitanya.

Berikut penulis akan menuliskan beberapa Tips Menghafalkan Qur'an. Tips ini juga berdasarkan pengalaman penulis dan juga beberapa teman-teman menghafalkan 30 Juz Qur'an dan pesan-pesan Ustadz kami.

Berikut Tips Mudah Menghafalkan Al-Qur'an:

  1. Niat Ikhlas

  2. Harus punya Niat yang kuat (kuat membara), kemudian diperkuat dengan Sholat Hajat (meminta kelancaran, kemudahan, dan kesempurnaan).
  3. Perbaiki Tajwid dan Makhroj

  4. Jika kita belum memiliki kemampuan bacaan yang baik, perbaiki makhroj dan tajwidnya terlebih dahulu. Ini sangat berpengaruh sekali terhadap kelanjutannya nanti. Caranya, banyak-banyak membacanya (jangan menghafalkannya dahulu) dengan memperdengarkannya kepada Ustadz/Saudara yang diyakini telah bisa mengahafalkan Qur'an.
  5. Cari Halaqoh atau Ustadz/Mentor dan ikut belajar dengannya (jangan sendiri).

  6. Tidak masalah jika anda memang menginginkan menghafalannya secara mandiri, namun Anda harus perlu menyetorkan Hafalannya secara Langsung (Face to Face) dengan yang sudah Ustad/Orang yang telah hafal, setidaknya kepada orang yang sudah ahli membaca Al-Qur'an.
  7. Pasang Target

  8. Jangan muluk-muluk, sesuaikan dengan kemampuan. [Penting!!!] Menghafal Qur'an sebenarnya yang dikejar bukanlah Kuantitasnya namun Kualitasnya. Saya penah mendengar, bahwa sahabat Nabi dulu tidak beranjak ke hafalan berikutnya jika tidak benar-benar menerapkan apa yang dihafalkan.
  9. Gunakan Metode yang sesuai dengan minat dan kemampuan

  10. Sebab setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan. Ada orang yang hafal hanya dengan mendengar saja, Ada yang perlu membaca ayat per-ayat, ada yang sekaligus 1 Halaman, Ada yang perlu membacanya sampai 70 kali, dan sebagainya...
  11. Siapkan Al-Quran Hafalan yang Baik

    • Saran saya gunakanlah Mushaf Madinah (yang 15 Baris).
    • Tetapkan Al-Qur'an yang digunakan hafalan, dan jangan ganti sampai selesai (tetapkan!).
    • (Saran) Gunakanlah Al-Qur'an yang sedang/tanggung (jangan menghafalkan menggunakan Al-Qur'an kecil).
    • Jika perlu hiasi Al-Qur'an dengan Kata-kata Mutiara dan Kata-kata Semangat (pengalaman dulu, teman saya menuliskan target hafalan di sisi Qur'annya), sangat efektif untuk meningkatkan semangat. Coba...
  12. Siapkan benar-benar mental, tempat, tenaga, dan waktu

  13. Carilah tempat yang nyaman, dan usahakan sediakan waktu yang cukup. 
Tips Mudah Menghafalkan Al-Qur'an
Suasan Halaqoh Qur'an di Rumah Tahfidz Riyadhul-Qur'an

Berikut Metode yang umum digunakan dalam menghafalkan Qur'an

  • Ayat per-ayat. kemudian dirangkai.
  • Dalam 1 halaman dibagi menjadi 2 atau 3 bagian, kemudian dihafal.
  • Langsung 1 Halaman penuh.

    Metodenya, jika Anda mau membaca dan mau mendengar...

    Metode 1
    Jika ayatnya panjang, gunakan pembagian menjadi 2/3 bagian. Baca ulangi sebanyak-banyak (Ingat dibaca, jangan di tutup qur'annya).

    Jika dirasa sudah sedikit "nyantol", sesekali buka-tutup Qur'annya. Jika sudah yakin, baru anda beranjak pada bagian selanjutnya. Jangan ganti posisi jika belum mantap/yakin.
    Metode 2
    Jika anda mencoba 1 halaman sekaligus, caranya Anda membacanya 40-70 kali non-stop. kira jika 1 halaman itu katakan 1,5-2 menit berarti 1 halaman jika dibaca 40 kali butuh waktu 1 Jam 20 menit (di ulang 40 kali).
    Metode 3
    Jika sudah terangkai 1 halaman atau lebih, segera setorkan ke Ustadz. Jika sudah selesai 1 Juz lengkap, maka Anda harus Juz 'Iyah.

    Apa itu Juz 'Iyah? Anda mengulang hafalan tersebut 1 Juz sekaligus (20 halaman), jika belum mampu 1/2 Juz (10 halaman), Jika belum mampu 1/4 Juz (5 halaman).

    Namun jika anda sudah sanggup 1/4 atau 1/2 Juz, maka usakan rangkailah menjadi 1 Juz kembali. Pada intinya usahakan 1 Juz sekaligus. [Ingat Kualitas, bukan kuantitas].

    Jika sudah, baca kembali Juz tersebut ulangi sampai 10 kali (dibaca saja) dalam 1 Hari (ini yang berat..., semampu kita saja), untuk menimbulkan reflek. Katanya temen, ini metode yang digunakan saudara-saudara muslim kita di Palestina.
    Metode 4
    Sering-seringlah dengarkan Murotal yang sedang dihafal, usahakan jangan mendengarkan hal-hal yang melalaikan. Pilihlah Murotal dari Syeikh Favorit.
    Metode 5
    Gunakan Hafalan yang sudah untuk dijadikan bacaan ketika Sholat-sholat wajib maupun Sholat Sunnah.

    Atau jika anda mau, Gunakan ketika Anda menjadi Imam Sholat Jama'ah (Sholat Jaher) Shubuh, Magrib, Isya'. Pasti anda benar-benar mempersiapkan hafalan tersebut.


    Jika Anda benar-benar siap, anda berarti siap-siap capek, jenuh, bahkan galau gara-gara susah "mancep" hafalannya. Sebagai solusinya :
    • Cari teman curhat ke sesama penghafal Qur'an.
    • Konsultasi sama Mentor Hafalannya.
    • Perbanyak doa.
    • Jangan terlalu "over"/berlebih-lebihan.
    Sekian tulisan kali ini, semoga ada manfaatnya...
    Share:

    Pesan untuk Hamilul Qur'an, Jangan Galau

    Kita semua tahu bahwa para penghafal Qur’an adalah orang-orang pilihan Allah. Dan Allah telah mengkhususkan mereka untuk menjadi keluarga Allah, “Ahlullah wa Khooshotuhu”. Namun bagaimana jika mereka -para pembawa al-Qur’an- mengalami saat-saat down dalam hidupnya? Bagaimana jika mereka sedang mengalami masa futur iman? Bukankah al imaanu yaziidu wa yanqush? Yaziidu bi ath thoah wa yanqushu bil ma’shiyah.

    Akhir-akhir ini di kalangan remaja sedang marak kata-kata yang menggambarkan suasana hati. Entah siapa yang memulainya, sepertinya kata-kata tersebut ampuh untuk digunakan sebagai gambaran hati yang sedang futur. Galau. Di manapun, siapapun, dan kapanpun pasti ada kata itu. Facebook contohnya. Setiap menit pasti ada yang ngupdate status “galau”. Anak-anak kecil yang bermain pun tak lepas dari kata itu. Hatta ibu-ibu pelanggan sayur keliling mengenalnya.

    Masya Allah…

    Sudah menjadi sunnah kehidupan bahwa kita berada dalam kondisi hati yang berbeda-beda setiap waktu. Tak salah pula jika seseorang berada dalam keadaan futur. Begitu pula dengan para penghafal Qur’an, orang-orang pilihan Allah. Mereka juga manusia yang hatinya sangat mudah berubah-ubah. Walaupun mereka selalu berada bersama al-Qur’an, namun mereka juga mempunyai nafsu yang mengajak kepada kemaksiatan. Di sekitarnya pun ada setan-setan yang selalu menggoda untuk menjauhi al-Qur’an. Mereka juga bisa galau.

    Salah satu penyebab galau adalah mengingat masa lalu. Mengingat masa lalu akan membawa kita kepada kebodohan dan ketakberdayaan. Jika kita bersedih atas apa yang telah terjadi pada masa lalu kita, tak akan mampu mengembalikan apa yang telah berlalu. Bersedih boleh, asal jangan meratapi. Cukup dijadikan pelajaran, tidak mengulangi lagi dan mohon ampun atas apa yang telah kita perbuat.

    Tak sepantasnya sebagai seorang muslim –penghafal Qur’an khususnya- mengumbar-umbar kesedihan dan kegalauan kita entah di dunia maya atau di dunia nyata. Cukup kita dan Sang Khaliq saja yang tahu. Berdo’a dan curhat padaNya akan jauh lebih baik dari pada kita nyetatus galau di beranda facebook atau tempat-tempat umum lainnya.

    Akan lebih baik jika kita mengalihkan kegalauan kita dengan membaca al-Qur’an. Allah berkalam dalam kitabNya, Fiihi syifaa’un linnaas. Al-Qur’an adalah penyembuh bagi kita semua. Dan galau, termasuk penyakit hati. Ia akan sembuh jika kita mengobatinya dengan obat yang benar, insya Allah.

    Tak masalah sesekali kita melihat ke belakang, memetik pelajaran dari apa yang telah kita kerjakan. Tapi tak harus dengan menyesalinya. Mengungkit masa lalu tak akan membuat yang buruk menjadi sesuatu yang baik. Amalan kita yang sekaranglah yang dapat menutupi kekurangan atau kejelekan kita di masa lalu itu. Tatap masa depan kita dengan wajah terangkat penuh keoptimisan. Ingat, masa lalu boleh kelam, tapi masa depan harus cemerlang.

    Sebenarnya, yang membuat kita bahagia atau sedih adalah diri kita sendiri. Faman rodhiya fahuwa yarddho, wa man sakhitha fahuwa yaskhuth. Kita adalah yang memahami diri kita sendiri, bukan orang lain. So, jangan terlalu terbebani dengan keberadaan masa lalu –yang mungkin cukup kelam- kita. Hadapi hidup yang dijalani sekarang dengan optimis dan percaya diri. Karena air akan selalu mengalir ke depan, angin berhembus ke depan, dan kafilah pun akan selalu berjalan ke depan. Jangan pernah menyalahi sunnah kehidupan.

    Yaa Muqollibal quluub, tsabbit quluubanaa ‘ala diinik..

    Sumber : Isykarima.com
    Share:

    Ilmu yang Berkah

    Ilmu itu bukan semata pengetahuan tentang berbagai tempat, waktu, dan tokoh. Hafal ratusan ayat, hadits, bait syair, matan, dan ibarat penting lainnya. Sebagian mengira, jika seseorang berhasil mengetahui permasalahan politik, ekonomi, atau sejarah secara terperinci maka ia layak disematkan gelar alim (ahli) dengan ilmu bermanfaat dan diberkahi.

    Sebagian menilai bahwa ilmu itu tandanya banyak berbicara, jago berdiplomasi, lihai mengungguli lawan debat, dan retorika yang mumpuni. Jika seorang ingin terpandang di mata amanusia, maka harus memiliki keahlian di atas.

    Standar ilmu yang berkah dan bermanfaat tidak seperti demikian. Bisa jadi orang yang tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya pun mampu menguasai hal-hal di atas. Orang-orang atheis pun tidak sedikit berasal dari kaum cerdik pandai. Namun sayang sekali hatinya tidak terketuk hidayah Ilahi.

    Ilmu yang bermanfaat dan diberkahi adalah ilmu yang mengantarkan pemiliknya menuju kemanfaatan di dunia dan akhirat. Bukan di dunia saja. Sebab, dunia hanya terminal kehidupan. Seorang mukmin dengan ilmunya harus memberi kemanfaatan kepada dirinya atau nafi’un linafsihi dan mengusahakan dirinya bermanfaat bagi orang lain atau nafi’un lighairihi. Dalam hadits disebut bahwa sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain.

    Kemanfaatan ilmu dan keberkahannya bisa diukur sendiri oleh pengemban ilmu itu. Semakin bertambahnya ilmu seseorang, takutnya ia kepada Allah semakin besar. Allah berfirman : “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-Nya adalah ahli ilmu” (QS. Fatir: 28). Imam Masruq berkata: “Cukuplah seseorang itu berilmu dengan takut kepada Allah, cukuplah seseorang dicap jahil dengan membanggakan ilmunya sendiri.

    Keluasan ilmu yang dimiliki seyogyanya mengantarkannya menuju kedekatan kepada Allah dan menjaga jarak dengan dunia. Dunia bagi seorang alim yang rabbani bukan tujuan utama. Dunia hanya sawah ladang. Di akhiratlah tempat menuai. Imam Sufyan At-Sauri berkata: “Tidaklah seorang bertambah ilmunya lantas bertambah cintanya pada dunia, melainkan dia bertambah jauh dari Allah.”

    Merasa diri banyak ilmu semakin berani kepada Allah. Pandai mempermainkan ajaran Allah. Pandai bersilat lidah mencari pembenaran terhadap pendapatnya yang keliru. Selalu mencari celah agar bisa berkelit dari tuntutan keimanan. Sikap seperti ini merupakan ciri-ciri ilmu yang tidak berkah. Dunia akhirat pun tidak bermanfaat.

    Penyakit ahli ilmu adalah ketika pengetahuan yang dimilikinya sebatas teori saja. Ilmunya hanya wacana, opini, atau tulisan di atas kertas. Ia sendiri tidak mengamalkan ilmunya. Ia pun tidak berusaha memperjuangkan apa yang diyakininya sebagai ilmu. Abu Darda’ ra berkata: “Seorang tidak disebut alim sampai dia mengamalkan ilmunya.”

    Amal itu adalah buah dari ilmu. Ilmu yang bermanfaat dan barokah adalah tatkala manusia menilai pengemban ilmu itu menyesuaikan diri dengan pengetahuan yang dimilikinya. Ada cahaya di wajahnya. Ada takut pada Allah di hatinya. Konsisten tutur kata dan perbuatannya. Dia jujur pada dirinya, pada orang lain, dan kepada Allah.

    Ilmu bermanfaat dan barokah yang dimiliki seseorang tidak membuatnya takabbur. Pakaian ahli ilmu adalah ketawadhuan. Itulah kemuliaan hakiki di mata Allah dan manusia. Fudhail bin Iyadh berkata: “Allah mencintai ahli ilmu yang tawadhu’, sangat membenci ahli ilmu yang congkak. Barangsiapa yang tawadhu karena Allah, Allah akan mewariskan hikmah kepadanya.”

    Penyakit kronis kaum cerdik pandai dari dahulu hingga hari ini adalah congkak. Merasa pintar sendiri. Bangga dengan ilmu yang dikuasai. Orang lain dianggap bodoh atau tidak selevel intelektualitasnya dengan dirinya. Sehingga ia bebas memberi komentar miring atau menilai siapapun semaunya. Padahal tidak pantas bagi ahli ilmu merendahkan orang lain karena ilmunya yang sedikit.

    Ilmu yang disertai kesombongan hanya melunturkan respek orang lain. Meski di depan mata terkesan hormat, tetapi di belakang sungguh dia tidak disukai. Antusias dan penghargaan tulus dari orang lain didapat hanya melalui tutur kata santun dan perangai yang simpatik. Maka otomatis ilmunya akan bermanfaat bagi orang banyak dan keberkahannya bisa mengalir deras kepada mereka.

    Ilmu yang berkah lagi bermanfaat menuntun pemiliknya menuju kebahagiaan dan kemuliaan sejati, yaitu keridaan Allah. Ilmu itu menghalanginya dari kehinaan, menjaganya dari kesesatan, membentenginya dari hawa nafsu, dan memeliharanya dari perkara keji dan mungkar. Semoga Allah yang Maha Alim menganugrahkan kita ilmu yang berkah dan bermanfaat.
    Share:

    Pesan Para Penghafal Qur'an

    Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama, bahwa al-Qur’an merupakan satu-satunya kitab samawi yang akan abadi. Karena Allah subhanahu wa ta’ala telah berjanji pada diri-Nya sendiri, untuk menjaga serta memeliharanya sampai habis masa nanti.

    إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَى وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُوْنَ

    “Sungguh Kami telah menurunkan al-Qur’an dan sungguh Kami pasti menjaganya.” (Qs. Al-Hijr : 9).

    Al-Qur’an pula satu-satunya kitab suci yang dibaca, dihafal, serta dinikmati semua orang dari ummat nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam, jika dibandingkan dengan nabi-nabi sebelum beliau. Otomatis al-Qur’an juga menjadi bukti kemukjizatan Rosulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan al-Qur’an kita dapat mengetahui mana yang haq dan mana yang bathil. Ia juga merupakan instrument taqorrub para ahli ketaatan dan tempat berlabuh para pencintanya.

    Seorang salaf pernah berkata :
    “Apabila kalian ingin berdialog dengan Rabb, atau Rabb-mu ingin berdialog denganmu, hendaknya kamu membaca al-Qur’an.”
    Banyak kisah-kisah yang bercerita dan berkaitan dengan al-Qur’an itu sendiri. Ada mereka yang tengah terserang penyakit, dapat sembuh dengan al-Qur’an. Sebagaimana kalamullah

    وَنُنَزِّل مِنَ القُرْأَنِ مَا هُوَ شِفآءٌ وَّرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِيْنَ وَلَايّزِيْدُ الظَّالِمِيْنَ إِلاَّخَسَاراً

    “Dan Kami turunkan dari al-Qur’an (sesuatu) yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang yang beriman, sedangkan bagi orang yang dzalim (al-Qur’an itu) hanya akan menambah kerugian.” (Al-Isra’ : 82).

    Mereka yang ingin rumahnya berbarokah, cukup melafazhkan :

    رَبِّ أَنْزِلْنِي مُنْزَلًا مُبَارَكًا وَأَنْتَ خَيْرُ الْمُنْزِلِينَ

    “Wahai Rabbku tempatkanlah aku pada tempat yang diberkahi, dan Engkau adalah sebaik-baik pemberi tempat.” (QS. Al-Mu’minun : 29)

    Tak ketinggalan bagi mereka yang menginginkan jodoh, lafazhkan saja ayat yang bunyinya :

    رَبِّ لَا تَذَرْنِي فَرْدًا

    “Wahai Rabbku janganlah Engkau biarkan aku hidup seorang diri..” (QS. Al-Anbiyaa : 89)

    Dengan al-Qur’an dunia serasa hanya dalam genggaman kita. Seperti yang pernah dikatakan salah seorang guru kami, “Dengan al-Qur’an segalanya bisa, tinggal kita mau apa”. Satu hal saja yang perlu digaris bawahi, jika kita bisa istiqomah serta menjaga keikhlasan, apa yang dituliskan tadi dapat anda buktikan. Tapi, semua itu tidak lepas dari ridho Allah ta’ala semata tentunya. Tak heran kalau menjadi Haamilal Qur’an adalah sebuah pilihan yang amat menguntungkan.

    Siapakah Haamilul Qur’an itu? Haamilul Qur’an adalah mereka yang senantiasa berpegang teguh dengan al-Qur’an, membacanya pagi dan malam, mengamalkan isi al-Qur’an, menghafalkan ayat demi ayatnya, mempelajari dan menelaah ayat demi ayatnya, serta mereka yang mengajarkan al-Qur’an.

    Namun, tahukah Anda, bahwa golongan manusia yang pertama kali masuk neraka sebelum Fir’aun dan Abu Jahal, serta pengikut mereka, adalah para Haamilul Qur’an. Lalu setelah itu para mujahid, dan mereka yang salah dalam berniat. Mungkin termasuk diantara mereka adalah orang-orang yang tertipu dengan amalnya.

    Kita tahu bahwasanya setan tidak akan pernah berhenti menjerumuskan anak Adam untuk mengikuti jejak mereka. Tipu daya setan untuk para Haamilul Qur’an lebih besar. Setan membisikkan sedikit demi sedikit kesombongan di telinga mereka. Tak jarang niat yang awalnya benar justru malah melenceng. Akhirnya sikap riya’, ujub dan kawan-kawannya pun muncul. Padahal Rasulullah berkata bahwasanya orang yang dalam hatinya terdapat kesombongan walau sebesar biji sawi tak akan masuk surga.

    Setan juga mencoba membisikkan sikap ‘husnuzhon’ pada Haamilul Qur’an. Husnuzhon bahwasanya amalan mereka akan diterima semuanya. Segala dosa mereka akan terampuni. Toh al-Qur’an sudah dihafal. Bukankah orang yang menghafal al-Qur’an adalah keluarga Allah dan orang-orang terkhususNya?

    Saudaraku, menjadi seorang Haamilul Qur’an bukanlah jaminan seseorang untuk masuk surga manakala dirinya tetap bermaksiat bahkan melanggar syariat. Tapi menjadi seorang Haamilul Qur’an merupakan suatu upaya untuk memantaskan diri meraih karunia Allah dan menjadi penghuni surga.

    Hendaknya bagi kita hamba yang tiada daya dan kuasa. Janganlah terlalu berhusnuzhon pada diri sendiri. Adapun jika seseorang itu berhusnuzhon kepada Allah, maka ia kan memperbanyak perbuatan-perbuatan baiknya. Tapi, janganlah kita berhusnuzhon pada Allah untuk mengempuni segala dosa-dosa yang telah tercipta, Sedangkan kita secara sembunyi-sembunyi masih bermaksiat pada-Nya.

    Wallahu a’lam bishowab

    Sumber : Isykarima.com
    Share:

    Bisakah Sains dan Pendidikan Islam Bersatu?

    Adalah Ibnu Sina, ilmuwan muslim pada abad ke-11, yang gaung karya-karyanya senantiasa terdengar, dulu maupun sekarang. Barat mahsyur menyebut beliau dengan nama Avicenna. Dunia menggelarinya sebagai ‘Bapak Kedokteran Modern’. Bahkan George Sarton, sejarawan Belgia yang diakui sebagai ‘Father History of Sains’, menggambarkan Ibnu Sina dalam karya fenomenalnya ‘Introduction to the History of Scince’ sebagai ‘seorang tokoh terkemuka dalam perkembangan khazanah Islam yang namanya tetap bertahan selama seribu tahun sebagai salah satu pemikir dan ahli medis terbesar dalam sejarah’.

    Bukan tanpa sebab Ibnu Sina mendapatkan semua puja-puji itu. Dalam usia 57 tahun, beliau telah berhasil menelurkan 450 buku yang membahas pelbagai disiplin ilmu. Kontribusi beliau terhadap perkembangan ilmu pengetahuan tersebar di banyak bidang seperti kedokteran, filsafat, farmasi, psikologi, kimia, biologi, astronomi, hingga geologi. Bahkan ‘Al Qonun fi At-Tibb dan Asy-Syifa, 2 masterpiece beliau di bidang kedokteran, dijadikan sebagai salah satu referensi utama di perguruan-perguruan tinggi Eropa hingga hari ini.

    Namun yang perlu disadari ialah, jauh sebelum Ibnu Sina berfokus mendalami pengetahuan-pengetahuan sains semacam itu, beliau telah mempelajari terlebih dahulu ilmu-ilmu agama yang menjadi dasar dari kehidupan beliau. Dimana pada usia 10 tahun, beliau telah menyelesaikan hafalan Al Qur’an, menguasai tasawuf, dan paham dengan ilmu mantiq beserta dasar-dasar agama lainnya. Ini semua membentuk kepribadian yang mampu menyeimbangkan kedudukan antara ilmu agama dengan pengetahuan sains. Sehingga tak heran, bilamana kita sering mendapati dalam biografi beliau fragmen-fragmen yang menceritakan seorang Ibnu Sina ketika mendapati rintangan, masalah, maupun persoalan rumit, akan bersegera mengambil air wudhu, lalu kemudian pergi ke masjid, dan terus sholat hingga hidayah menyelesaikan kesulitan-kesulitannya.

    Ibnu Sina hanyalah satu dari sekian cendekiawan muslim yang hidup di masa pemerintahan Dinasti Khilafah Abbasyiah. Masih ada begitu banyak ilmuwan muslim lainnya yang ikut serta dalam mengharumkan nama Islam lewat penelitiannya di bidang sains dan pengetahuan umum. Sebut saja misalnya Ar Razi di bidang kedokteran, Al Kindi dan Ibnu Farabi di dunia filsafat, Al Khawarizmi di bidang Matematika, Al Mas’ud di bidang sejarah dan geografi, hingga Ibrahim Al Fazari dan Al Farghani di dunia astronomi. Dan, sebagaimana Ibnu Sina, mereka juga mempelajari terlebih dahulu ilmu-ilmu agama sebelum melakukan pendalaman lebih lanjut di bidang-bidang tersebut. Itu yang membuat mereka menjadi pendar-pendar bintang yang turut menerangiperadaban Islam bahkan sesudah maut menjemput mereka.

    Keberadaan para ilmuwan muslim di Dinasti Abbasyiah, tentunya juga diimbangi dengan kehadiran para ulama yang mumpuni di berbagai bidang keagamaan. Di dunia tafsir, ada Ibnu Jarir Ath-Thabari yang terkenal dengan kitab tafsirnya. Di bidang hadits, muncul 6 permata Islam yang keenam karya mereka jamak disebut sebagai Kutubus Sittah. Mereka adalah Imam Bukhari, Imam Muslim, Ibnu Majah, Abu Dawud, Imam Tirmidzi, dan Imam Nasa’i. Dalam dunia tasawuf, dunia mengenal Imam Al-Ghazali sebagai salah satu penghulu ulama tasawuf ketika itu. Kemudian dalam ilmu fikih, lahir di masa Dinasti Abbasyiah keempat ‘Imam Madzhab’ yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Asy-Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hambal. Masing-masing meninggalkan masterpiece yang hingga kini senantiasa dijadikan rujukan umat dalam bidang fikih agama.

    Demikianlah. Kolaborasi apik antara ilmu agama (kaum ulama) dengan pengetahuan umum (ilmuwan dan cendekiawan) mampu membawa Islam berjaya di puncak peradaban dunia pada saat itu. Di bawah pemerintahan Dinasti Abbasyiah, masyarakat Islam didesain untuk berada dalam kondisi keilmuan yang kondusif. Umat didorong untuk ber-mulazamah dengan alim ulama berikut para cendekiawan muslim. Pendidikan dasar keagamaan yang diberikan sedari kecil menyeting mindset kehidupan masyarakat sebagai seorang pembangun peradaban, bukan malah perusak bumi. Dengan berbekal ilmu agama, apapun profesi yang dilakoni, -entah itu ilmuwan atau pandai besi sekalipun- hanya akan bertujuan untuk menghasilkan kebaikan dan manfaat bagi orang lainnya. Sehingga dari sini akan tercipta perpaduan insan yang mampu menjalankan fungsinya sebagai khalifah di muka bumi (khalifatul ardh). Manusia-manusia yang akan memakmurkan dunia, menyejahterakan penduduk bumi, dan menjaga keseimbangan alam dari berbagai kerusakan.

    Akan tetapi kondisi yang terjadi pada hari ini ialah sebaliknya. Umat Islam sedang terpuruk di titik nadirnya. Kejayaan yang pernah bersemayam selama ribuan tahun, kini hanya menjadi nostalgia indah akan kenangan masa lampau. Sama sekali tak punya kuasa untuk menentukan laju arah dunia seperti sedia kala. Posisi umat Islam sebagai khalifah di muka bumi seakan dirampas begitu saja karena kealpaan dan ketertinggalan mereka dalam mempelajari teknologi. Padahal, tanpa sains dan teknologi, bakal ada banyak sekali potensi alam yang hanya akan menjadi bahan mentah dengan manfaat serba terbatas. Lantas, bagaimana bisa umat Islam mendapatkan kemakmuran dari alam sekitar bila mereka belum menguasai ilmu pengolahannya? Belum belajar bagaimana mengaktualisasikan manfaat alam tersebut menjadi sesuatu yang bersifat rahmat bagi semesta?

    Pertanyaan besar bagi kita semua.

    Sumber : Isykarima.com
    Share:

    Seorang Hafidz Bukanlah Malaikat

    Haafizh? Kata tersebut sudah tidak terlalu asing dimasyarakat sekarang. Haafizh adalah ism fa’il dari kata hifzh yang artinya “penghafal al quran”, atau “hamalatul quran”. Dahulu, kata hafizh hanya disandang oleh para penghafal hadits. Orang yang mempunyai hafalan hadits diatas rata-rata (ribuan mungkin) dan paham dengan seluk beluk periwayatan, mereka disebut Haafizh.

    Tidak sedikit sekarang haafizh di Indonesia. Malah, bisa disebut ‘tren’ menghafal al-Qur’an. Menghafal al-Qur’an beberapa hari, dan jika lulus sudah mendapat gelar haafizh. Pondok pesantren (Ma’had) dengan program menghafal al-Qur’an kini menjamur di seluruh penjuru dunia, termasuk Indonesia. Program Menghafal al-Qur’an pun kini menjadi pilihan utama para orang tua mendaftarkan putra-putri mereka ke pondok pesantren.

    Semakin banyak orang mengetahui keutamaan menghafal al-Qur’an. Karena itulah semakin banyak pula orang yang berlomba-lomba dalam menghafal Kalamullah. Beberapa keutamaannya adalah; al-Qur’an memberi syafaat bagi para pembaca/ penghafalnya, al-Qur’an merupakan obat bagi para pembacanya, orang tua para penghafal ini akan mendapat kemuliaan di akhirat kelak, dan yang terpenting adalah menjadi bagian dari keluarga Allah dan orang-orang terkhususnya.

    Namun kita sedikit kecewa ketika mengetahui ada seorang (atau malah banyak?) haafizh yang melakukan ‘pelanggaran’ syari’atNya. Bila yang melakukan maksiat tadi bukan seorang haafizh dianggap hal yang wajar. Ada haafizh yang mencuri, berdusta, dan lain sebagainya. Ada seorang ustadz yang menyampaikan di sebuah kajian remaja yang menceritakan ada sepasang penghafal al-Qur’an (haafizh dan haafizhah) yang pacaran. Bahkan lebih dari itu. Na’udzubillaah.

    Okelah, mereka bukan para malaikat. Yang dengan perintah Allah selalu patuh dan taat. Mereka juga bukan manusia sempurna, yang terbebas dari dosa dan maksiat. Mereka hanyalah manusia biasa. Mereka juga sama seperti kita, tempat salah dan khilaf. Mereka manusia biasa, yang berusaha menggapai ridha Allah dengan cara yang mereka mampu yaitu menghafalkan KalamNya.

    Tapi setidaknya, mereka lebih mengetahui hukum-hukum yang telah mereka baca dan hafalkan di dalam al-Qur’an. Mereka seharusnya mempunyai perasaan ‘membawa beban’ sebelum melakukan apa yang dilarangNya. Mereka adalah keluarga Allah. Mereka orang terkhusus yang dipilih Allah untuk menjaga kalamNya. Masa iya, orang pilihan mencuri? Masa iya, orang pilihan pacaran? Pantaskah?

    Sebenarnya, bukan hanya para penghafal al-Qur’an saja yang berpikir dahulu sebelum bermaksiat. Setiap orang beriman seharusnya merasa selalu diawasi oleh Dzat Yang Tidak Pernah Tidur. Semua manusia seharusnya merasa bahwa Allah tidak pernah lalai terhadap hambaNya. Jadi bukan hanya haafizh saja yang mendapatkan stempel buruk jika melakukan ‘pelanggaran’. Entah itu haafizh atau bukan, Allah memperlakukan hambaNya sama. Adil seadil-adilnya.

    Memang manusia itu tempat salah dan lupa. Manusia itu selalu berbuat kesalahan. Tapi sebaik-baik orang adalah yang melakukan kesalahan kemudian menyesal dan bertaubat.

    Sumber : Isykarima.com
    Share:

    Menuju Masyarakat Muslim Madani

    “Penduduk Cordova adalah para tokoh negeri dan orang terpandang dalam makanan, pakaian, kendaraan, dan ketinggian cita-citanya. Di dalamnya juga tinggal para pemuka ulama dan orang terhormat, serta para pionir pertempuran dan peperangan.”

    Gambaran mengenai masyarakat Cordova yang dilukiskan oleh Ibnu Al-Wardi dalam karyanya Kharridah Al-‘Aja’ib itu memang benar adanya. Kehidupan yang terjalin antar insan berjalan dengan amat serasi berkat adanya kesinambungan dalam penegakan hukum Islam. Cordova, benar-benar mampu mencapai zaman keemasannya ketika tampuk kekuasaan dipegang oleh Bani Umayyah yang bercorak Islam. Bukan hanya sekedar menjadi mercusuar peradaban dunia saja, namun juga berhasil membentuk karakter masyarakat madani dalam diri penghuni Cordova. Kedamaian dan ketentraman adalah suasana lumrah yang akan ditemui begitu memasuki komplek Ibukota Andalusia tersebut.

    Bukti lain mengenai keefektifan kepemimpinan Islam dalam membentuk masyarakat madani juga telah muncul beberapa ratus tahun sebelum itu. Umat Kristen Koptik di Yerussalem dan Mesir lebih memilih untuk tunduk dalam kepemimpinan Islami –yang notabene merupakan musuhnya- dibandingkan dengan hukum kristen ala Romawi. Mereka merasa lebih damai jika yang memimpin mereka adalah utusan Khalifah dibanding rekan seagama mereka dari Romawi. Mengapa hal ini bisa terjadi? Karena, umat Kristen Koptik di Yerussalem dan Mesir selama ini sudah bosan ditindas oleh Gubenrnur Romawi mereka yang selalu berlaku semena-mena. Sedangkan Islam mendidik para pemimpinnya untuk tetap hidup sederhana, jujur, dan anti-korupsi meski mereka berada di puncak kekuasaan. Walhasil, beberapa saat kemudian, terciptalah kehidupan madani di Yerussalem dan Mesir di bawah kepemimpinan seorang sahabat Nabi: Amr bin Ash radhiyallahu ‘anhu.

    Meski cukup mencengangkan, dua kisah teratas ternyata belum cukup ‘ajaib’ untuk menjadi yang terhebat dalam sejarah dunia. Lalu, catatan sejarah mana yang paling menakjubkan?

    Ternyata, bukti terhebat datang dari perjalanan hidup sang Nabi sendiri. Dalam jangka 13 tahun, beliau sukses mengubah penduduk Madinah Al Munawwaroh, yang ketika itu terjebak dalam perang saudara antara suku Aus dan Khazraj, menjadi masyarakat madani dengan berasaskan Al Qur’an dan As Sunnah. Semuanya dibangun dai nol. Padahal kelak, generasi hasil gemblengan sang Nabi di Madinah ini akan menjadi para founder dari peradaban Islam selama seribu tahun ke depan. Luar biasa, mengingat dalam waktu yang tergolong sangat singkat, Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam berhasil menciptakan kehidupan mayarakat yang cerdas dan teratur sekaligus juga sukses mengkader generasi penakluk sesudah masa beliau.

    Sejarah telah menorehkan begitu banyak bukti yang berserakan di hadapan kita. Namun, tetap saja hal itu tak membuat manusia-manusia sadar akan betapa potensialnya kepemimpinan Islami dalam membentuk karakter masyarakat madani. Indonesia, yang menempati posisi pertama dalam hal jumlah kaum Muslimin, seharusnya mampu mendidik penduduknya menjadi masyarakat madani. Namun yang terjadi malah sebaliknya. Pemerintah Indonesia, sama sekali tak mampu memaksimalkan potensi jumlah tersebut untuk menuju kehidupan masyarakat yang beradab. Meski lebih dari 81% penghuni Indonesia adalah kaum Muslimin, tetap saja Indonesia terpuruk di bawah dengan berbagai permasalahannya.

    Masyarakat madani adalah masyarakat yang beradab, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, menguasai teknlogi, toleran akan perbedaan, dan memahami betul akan pentingnya keseimbangan antara hak dan kewajiban. Sudahkah masyarakat Indonesia mencapai tahapan ini? Jelas, belum. Mendekati saja tidak.

    Sejarah telah menunjukkan kepada kita, bahwa kunci dari segala permasalahan ini ada pada kepemimpinan Islami. Kok bisa? Jelas, karena Islam agama yang serba sempurna. Diciptakan oleh Pemilik semesta alam. Ajarannya bersifat universal dan tak pernah lekang dimakan waktu. Ia adalah solusi dari berbagai permasalahan lintas zaman. Termasuk berbagai masalah yang menimpa Indonesia pada hari ini. Yang dibutuhkan pada saat ini adalah keberanian kita untuk mendakwahkan Islam kepada segenap umat yang ada. Menyadarkan mereka bahwa masyarakat madani yang damai lagi tentram hanya akan muncul di bawah naungan kepemimpinan Islami, bukan yang lainnya. Mentarbiyah mereka yang masih merasa asing dengan agama rahmatan lil ‘alamin ini. Nah, setidaknya, itu akan menjadi awal yang baik untuk menuju masyarakat Indonesia yang madani, bukan?

    Sumber : Isykarima.com
    Share:

    Labels