Orang Tua adalah Aktor Utama Pendidikan


Orangtua adalah madarasatul ula bagi anak-anaknya,mereka akan mencontoh apa yang diperbuat oleh orang tua, perkataan, tingkah laku dan lain sebagainya. Seorang perempuan layak untuk mengenyam pendidikan tinggi, karena ilmunya akan kembali pada mereka anak-anaknya.

Inilah yang mesti disadari dan diketahui oleh seorang ibu, tanggung jawab yang ia miliki, dengan suami bersama-sama mendidik dan mencetak generasi yang berbudi pekerti, dan menurunkan segala kebaikan yg dicontohkan dan diajarkan kepada mereka.

Mendidik anak tidak hanya menyekolahkan mereka dari tk sampai sma atau perkuliahan, justru pendidikan anak dimulai dari persiapan orangtua dalam membenahi, memperbaiki diri dan meningkatkan kualitas ibadah dan keta'atan.

Dari awal tujuan mereka memadu


kasih, dan didalam proses kehamilan sudah dimulai pendidikan bagi sang buah hati. Apa yang dilakukan di masa kehamilan akan mempengaruhi sifat dan akhlaq anak nantinya. Dan tentunya kualitas makanan yang dikonsumsi si ibu memiliki andil besar dalam perkembangan fisik si anak.

Kemudian ketika lahir, orang tua merupakan guru pertama bagi mereka, kebiasaan positif yang mereka ajarkan akan membentuk karakter anak kedepannya. Maka cerminan anak adalah ada pada orang tua mereka.

Para ummahat, ibu-ibu di zaman dahulu menyusui anaknya dengan basmalah dan niat agar ketika dewasa anak bisa menjadi sosok besar dan memberi pengaruh positif dalam kehidupannya. Menjadi seorang ahli dalam berkuda, panglima perang, pemberani dan berilmu.

Maka dari itu nenek moyang kita dahulu juga adalah orang-orang besar. Sedangkan pada zaman sekarang tidak sedikit kita dapati ibu-ibu menyusui anaknya agar lekas tidur. Apa yang di harapkan dibalik hal yang sederhana ini ? Perjuangan mendidik anak adalah dari hal kecil, disertai doa yang tulus akan mempengaruhi perkembangan mereka.

Penulis : Ust Riyan
Share:

KEPING KEEMPAT BELAS : Cermin Jiwa


Belajarlah mawas diri pada seorang Adam ‘alaihissalam.

Ketika beliau diturunkan dari surga, siapa yang pertama kali beliau salahkan?
Apakah beliau menimpakan kesalahan kepada istrinya, seorang Hawa saja? Ketika ditanyai oleh Allah, apakah ada beliau semisal berkata, ‘Ya Allah, ini semua bersebab ulah istriku, Hawa. Dialah yang terus menerus membujukku hingga aku akhirnya melanggar perintah-Mu.’ Adakah?

Ah, tentu tidak, bukan?

Apakah beliau kemudian lantas menyumpah serapahi Iblis, dedengkot utama pangkal mula seluruh peristiwa tersebut? Apakah ada beliau semisal mengeluh, ‘Ya Allah, ini semua gegara bisik terkutuk dari Iblis. Dialah yang tak henti menggoda kami hingga akhirnya kami lengah dan memakan buah khuldi tersebut.” Adakah?

Ah, pun tentu tidak, bukan?

Beliau tak menyalahkan siapapun. Juga tak berarti berlepas diri begitu saja. Beliau justru berdoa, dengan doa yang sungguh teramat mengetuk hati. Apa kata beliau?

Allah abadikan permohonan beliau dalam Surat Al A’raf (7) ayat ke 23 . Di sana, penuh lembut beliau bersimpuh di hadapan Rabb Yang Maha Mendengar seraya berujar, “Rabbanaa Dzhalamnaa Anfusanaa wa in lam tahgfirlanaa lanakunanna minal khosiriin…Ya Tuhan kami, sungguh KAMI TELAH berlaku DZALIM pada diri kami sendiri, maka jika Engkau kiranya tidak sedia mengampuni dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami kan termasuk orang-orang yang merugi…”

Amat Agung!

Untuk kejadian sepelik itu, -permasalahan yang kemudian mengeluarkan mereka dari zona nyaman kampung halaman surga untuk kemudian hidup ‘seadanya’ di tanah baru bernama muka bumi-, beliau justru pertama kali melihat segala sesuatunya dari sudut pandang tanggung jawab beliau.

‘Kami telah berlaku Dzhalim terhadap diri kami sendiri!’ Bukankah ini sebentuk pengakuan yang amat ‘gentleman’? Bukankah ini pertanda suatu intropeksi yang teramat legowo? Dan bukankah ini merupakan awal dari sebuah insaf sekaligus taubat yang kelak akan diterima Allah?

Dan memang begitulah seharusnya. Dari ayah kita, Adam ‘Alaihissalam, kita belajar bercermin dalam setiap permasalahan yang datang menghampiri. Belajar mawas diri. Melihat jauh ke dalam diri kita terlebih dahulu sebelum lancung mengacungkan telunjuk kepada orang lain. Belajar peka sekaligus ikhlas, sebelum latah melemparkan salah kepada saudara sesama.

Rumah tangga bermasalah? Salahkan diri kita dahulu! Boleh jadi karena kita yang belum seutuhnya sempurna peka dalam memahami maksud pasangan.

Prestasi akademik merosot? Gagal melewati tes ujian? Lihat diri kita dahulu, bung! Boleh jadi karena fokus kita yang teralihkan pada hal-hal lain, hingga materi pengajar di kelas terluput dari kita.

Hafalan Qur’an banyak yang terlupakan? Jangan salahkan musyrif atau seabrek agenda kita, kawan. Boleh jadi karena diri kita sendiri yang tak pernah berusaha sejenak meluangkan waktu tuk membuka lembaran mushaf kita, bukan?

Makanan tak lagi terasa lezat? Kekayaan tak kunjung terasa cukup? Rezeki terasa seret tak lekas membaik? Intropeksi keseharian kita dulu, sahabat! Boleh jadi ada secuil bagian yang haram dalam usaha kita, hingga mentabiri seluruh berkah langit yang sedianya turun untuk keluarga kita. Atau boleh jadi karena ada sebiji riya’ di hati kita, ketika merasa diri kita lebih baik dari manusia-manusia lainnya. Atau boleh jadi, karena memang selama ini shodaqoh kita pada sesama yang belum seikhlas sebagaimana yang diajarkan Kanjeng Nabi kepada kita.

Ah, apapun masalah yang kita hadapi, mari biasakan untuk bercermin pada diri kita terlebih dahulu. Melihat sebening apa sesungguhnya kadar isi hati kita selama ini. Menengok sebersih apa sesungguhnya hubungan kita selaku para hamba kepada Dzat yang menjadi Rabb kita.

Agar jangan sampai kita terbutakan dalam tabir pekat dosa yang teramat gelap. Hingga hilanglah seluruh perasaan peka dari diri kita, dan kita menjadi orang-orang yang dimaksud dalam tamsil pribahasa lama : Kuman di seberang samudra terlihat, namun gajah di pelupuk mata justru terluput.

Selamar belajar. Selamat bercermin. Semoga dalam setiap bayang masalah kita nanti, kita menemukan kejernihan mata air Ilahi yang membimbing kita pada petunjuk serta taubat pada-Nya. Allahumma Amin.

Penulis : Chairulsinaga
Share:

Labels