Konon dunia sempat heboh saat dikuasai oleh dua raksasa besar, Sassania ( Persia kuno ) dan Byzantium ( Romawi kuno ). Selama beberapa abad imperium-imperium kecil seperti kerajaan Yunani, India dan Mesopotamia selalu tunduk pada dua Dinasti tersebut. Entah siapa yang lebih angkuh dan gagah, susah diprediksi. Sejarah terus bergerak maju hingga tiba saatnya masing-masing penguasa bercita-cita memfamiliarkan takhtanya. Tidak kenal siapa kawan dan mana lawan, drama pedang pun terus berlangsung hingga beberapa dekade.
Ketika keadaan semakin berantakan, kegiatan saling memberangus makin tidak karuan bak singa kelaparan berebut daging, tiba-tiba nampak sekuntum mawar indah di tanah Arab. Lantas kenapa harus Arab ? apakah Arab Negri adidaya ? atau Negri para filsuf pemilik kejlimetan berpikir ? atau ia adalah tanah yang belum terjamah oleh peradaban kekuatan serta keilmuan ? ya, Arab tanah natural yang belum disusupi filsuf kuno maupun diangggap kota berwibawa kala itu alias kota mati.
Tidak mendung tidak hujan secara perlahan mawar itu mulai bermekaran indah, mencengkeramkan akarnya dengan kokoh, dilindungi duri-duri tajam serta menghamburkan bau menggoda hingga tercium oleh sejumlah raja perkasa dari berbagai anak benua. Arab membengkak bukan secara kebetulan, tapi mereka besar lantaran ideologi yang digendong oleh Muhammad, sang Nabiyullah sekaligus pemimpin mereka. Dua kekaisaran besar mulai terusik dengan kehadiran tamu Arab itu hingga menambah aktifitas mereka berdua dengan memasukan Arab ke dalam daftar santapan berikutnya.
Dunia meramalkan bahwa episode berikutnya Arab tidak akan panjang umur. Namun diluar dugaan, kendatipun Arab adalah pasukan yang baru menampakkan taringnya, tapi mampu mengimbangi serangan mereka berdua hingga tak mampu lagi mengepakkan sayapnya. Pada akhirnya ia meraih kharismatik dan apresiasi yang belum pernah ada sebelumnya bahkan menjadi penguasa nomor satu. Tidak cukup sampai di situ, islam terus memuluskan misi ekspansi ke berbagai wilayah dengan kelembutan, sesekali dengan gertakan jihad atau pemberontakan dalam konteks barat.
Ketika Islam pada puncak kekuasaan, kekayaan berlimpah ruah, musuh pun nampak menyerah. Dari sini lah kaum muslimin mulai lengah terutama kaum pinggiran yang baru saja ditaklukan bahkan belum sempat menyempurnakan Iman. Saingan mereka belum move on dari traumanya menghadapi pasukan Islam yang tangguh. Mereka mulai merubah strategi dengan ledakan budaya barat yang dikenal dengan zaman renaisans pada abad 14 M.
Seakan-akan lahir dunia baru, pada era ini apapun terkoleksi dan terakumulasi, mulai teknologi canggih yang menggiurkan, senjata dan amunisi yang mengerikan, serta segala pernik sains yang siap saji. Ternyata sesuai dugaan bahwa opsi ini ampuh menciptakan westernisasi, melumpuhkan batin orang-orang islam hingga mereka merayap dan merangkak ke kiblat barat dengan terkesima. Peristiwa ini terus berkembang dan berkembang, berpotensi meretakkan rantai sejarah umat islam yaitu akhirat, bahkan mulai mempercantik alur sejarah barat.
Ditinjau dari dimensi kredo umat islam bahwa westernisasi ( pemujaan terhadap barat ) adalah contoh konkret dari hubbud dunia, sesuai wejangan Kanjeng Nabi Muhammad Shallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa :
حب الدنيا رأس كل خطيئة
“cinta dunia adalah pangkal segala kesalahan “. Padahal para empunya umat Islam, pemilik generasi emas yaitu abad ke satu, dua dan tiga hijriah, beliau semua jauh-jauh hari sudah mewanti-wanti kita agar tidak kagum pada gaya kebarat-baratan. Namun faktanya perkara yang dihindari oleh para salaf justru dijunjung tinggi oleh generasi kekinian dengan alasan Islam kurang kaffah kalau tidak ikutan modern, yang dikenal dengan terminologi “ Islamis Modernis “. Alhasil muslim zaman now lebih berakhlak barat ketimbang fokus akhirat, lebih bangga berdasi ketimbang tampil dengan sarung, peci, surban lantaran bikin gengsi. Yang lebih menggelikan tidak mampu konsisten dengan adagium andalan “ otak Eropa hati Makkah “ hingga yang penting kaya dan jadi orang kantoran meski pangkat karyawan eropa, dari pada merdeka, kerja dagang namun bisa menderita.
Penulis: Ustadz Syafi'i